Friday, June 17, 2011

cerita barbie dan high chair

Ternyata bener. Keterbatasan membuat kita jadi kreatif.

Saat kecil dulu, late 80-ish waktu Barbie baru mulai nge-trend. Hampir semua anak perempuan di komplek rumah ortu saya punya Barbie. Saya juga. Akhirnya. Setelah berbulan bulan merengek minta dibelikan.

Inget banget. Bapak saya pulang dari Jakarta. Oleh olehnya boneka Barbie. Satu untuk adik saya, Barbie bule berambut pirang. Satu lagi untuk saya. Barbie berambut coklat dan berkulit coklat.

Barbie tok. Seneng banget rasanya. Walau nggak ada ekstra baju. Nggak ada rumahnya.

Berasa ikutan trendy pas anak anak perempuan di komplek ngumpul membawa Barbie dan perlengkapannya masing masing.

Tetangga belakang rumah punya rumah barbie. Sementara tetangga sebelah, baju Barbie nya empat. Gaya gaya deh. Ditambah sepatunya yang warna warni. Ada yang bahkan Barbie-nya sudah punya pacar Ken. Keren-keren deh.

Saya tetep seneng. Lihat koleksi punya temen yang bagus bagus.

Tapi dasar anak anak, terutama anak perempuan yang punya tendensi untuk pamer dan being bitchy satu sama lain.

Tiba tiba ada yang nyeletuk begini , "Barbie kamu kok bajunya itu itu aja. Emang abis mandi nggak pernah ganti ya?", katanya. "Lihat dong punya aku. Bajunya macem macem. Bagus bagus lagi. Ini aja baju pesta, baju pantai, banyak deh", lanjutnya ninggiin mutu.

Saya diem. Nggak ngerti mau jawab apa. Sumpah, saya nggak iri. Cuman gimana caranya ya.. supaya Barbie saya bajunya lebih banyak.

Punya satu Barbie juga setengah mati dapetnya. Banyak banget syaratnya. Raport musti bagus, di rumah musti baik dan bantu bantu nyokap. Setelah itu musti nunggu sampai bokap ada kesempatan travel ke Jakarta. Maklum kita tinggal Kalimantan yang saat itu masih udik. Masak iya ujug ujug saya minta beliin koleksi baju Barbie. Nggak bakal di kasih dong.

Akhirnya saya memutuskan, bikin baju Barbie sendiri. Setiap nyokap ke tukang jahit, saya kekeuh ikutan. Supaya bisa minta sisa sisa kain perca.

Bermodalkan kain perca, benang, jarum dan jari mungil nan lentik perlahan lahan Barbie saya pamornya naik di kalangan anak anak komplek. Bajunya paling banyak dan trendy. Dari baju santai ke baju pesta. Semuanya saya rancang dan jahit sendiri walau sebenernya kalo dipikir balik, baju pesta rancangan saya itu agak agak dangdut juga sih hemmm.

Bahkan beberapa teman sempat membeli baju Barbie bikinan saya tadi. Uangnya hasilnya, saya pakai jajan. Maklum waktu SD nggak pernah diberi uang jajan oleh orang tua.

Ey..sempat juga waktu itu berpikir untuk jadi designer saat besar nanti.

Anyway, balik lagi ke keterbatasan.

Kita bukan tipe orang tua yang menimbuni anak anak dengan berbagai macam mainan. Bukannya pelit. Pertama, harga mainan mahal oi. Jaman sekarang harus pinter pinter mengatur pengeluaran. Apalagi kita punya Leonz yang biayanya nggak sedikit. Kedua, mainan bukan segalanya. Cuman sekedar tools, alat, penunjang. Bermain bisa menggunakan apa saja. termasuk imaginasi dan barang barang yang ada di rumah hmm.. ngomong emang gampang.. Padahal sempet murka waktu Leonz melukis dihanduk pakai eyeshadow saya Dengan begini akan merangsang imaginasi dan kreatifitas anak.

Terbukti dan bikin saya bangga.

Anak saya pulang dari rumah temannya yang mainannya bannnyaakkk baget. Lalu cerita si A punya mainan ini dan itu. Namanya anak anak (well.. balita sebenernya. Leah masih 3 tahun), dia juga pengen dong. Dia pengen baby high chair buat "dolly" boneka bayi kesayangannya yang kusem dan bulukan itu. Biar gampang nyuapin makannya.

Saya jelasin kita nggak bisa beli beli begitu aja. Karena uang nggak seperti air, gampang di dapat. Jadi dia musti nunggu, kalau nggak saat dia ulang tahun atau untuk kado natal nanti.

Lucu deh, dia angguk angguk lalu bilang, "mommy.. we don't even need to buy it. The Santa Clause will buy it for me!"....lol

Keesokan harinya, saya pikir dia sudah lupa. Nggak taunya, ini yang saya lihat ketika mengintip di kamarnya :


pretend high chair untuk baby buluk

PS : beneran loh anak perempuan bertendency untuk pamer dan being bitchy. Bahkan terkadang terbawa sampai mereka dewasa. Nggak percaya? Coba cek deh profile dan status teman teman di FB, lol

Friday, June 10, 2011

makanan Leonz

Saya berubah ke arah yang positif. Dalam hal memasak. Dari yang tadinya severe pemalas dan berprinsip "beli aja deh". Menjadi moderate pemalas dengan prinsip "musti bikin sendiri nih" dan lebih kreatif.

Sejak hampir dua tahun ini Leonz diet. Makan makanan yang tidak mengandung gluten, casein/dairy dan gula sama sekali. Di luar itu, haram hukumnya. Tantangan sendiri untuk mamanya yang males masak.

Tahun pertama sih oke. Beruntung banget kita tinggal di asia yang banyak pilihan bahan makanan tidak mengandung gluten.

Masuk tahun ke dua, Leonz mulai bosen. Mungkin dia pikir, makanan gw kok gini gini terus. Tumisan lagi, sup sup lagi. Singkong lagi, tahu lagi lagi. Kapan gw makan makanan seperti temen temen.

Ternyata anak ganteng yang mirip banget sama mamanya ini semakin pinter, alert sadar akan lingkungan. Sadar bahwa gambar iklan burger dari resto siap saji A tampak menggiurkan.

Nggak tega dong saya ngeliat anak sendiri ngences seember banyaknya, gara gara iklan siyalan ituh. Maka lahirlah burger kw1 "burger ayam dengan beras ketan" .


Burger KW 1 dan yang aseli

Leonz seneng bukan kepalang. Saya puas sampai keubun ubun :-)

Gampanglah kalau hanya masakan. Yang repot suatu pagi Leonz nunjukin gambar makanan penutup mulut dari satu majalah *Arrghhhh...!!*. Saya kan paling nggak bisa bikin kue. Kue yang bahan bahannya normal aja selalu bertendensi bantat. Apalagi ini gluten free yang otomatis beda banget konsistensi tepungnya. Tapi demi anak tercinta, akhirnya saya coba.

Percobaan pertama buat kue ulang tahun Leonz. Dan bisa ditebak, gagal. Banana cup cake ceritanya. Tapi entah kenapa, menurut saya rasanya seperti nogosari panggang. Menurut si mbak perpaduan antara bika ambon dengan rasa nogosari. Menurut swami saya.. err..dia nggak tega ngasih komen. Leah, noel kue tersebut juga ogah. Leonz.. hmm bolehlah pikirnya pada pandangan pertama. Kemudian dijilat dikit langsung berubah pikiran.

Foto kue gagal saya nggak ada. Sengaja nggak dipajang :P.

Percobaan kedua setelah trauma panjang , berbulan bulan kemudian. Saya memberanikan diri bikin apple pie. Saya pikir pasti bisa. Karena kue saya slalu bantat. Apple pie bagian crust nya kan bantat juga. Dan,..sodara sodara BERHASIL!!!

Ini fotonya, "Leonz Leah Apple Pie"





Cara bikinnya gampang kok. Seperti bikin tumisan aja. Campur campur semua bahan , nggak pake takeran. Kalau keukeuh mau tau takerannya, tanya sendiri sama Leonz. Berhubung dia yang masukin tepung dan "no sugar" nya ke dalam adonan tanpa persetujuan mamanya. Jadi dia yang tau :P

Bahan : 1 telur, pengganti gula "no sugar" dari kirkman, tepung gluten free dari orgran, margarine cair (saya pake blue band. produk kebanggan indonesia, hehe ), ground almonds, cinnamon, vanilla bubuk, xathan gum (bukan gusi setan ya. Ini bubuk yang sering dipakai untuk membuat kue berbahan gluten free) dan tentu saja buah apel (sebagian di cincang untuk dimasukan dalam campuran adonan, sebagian di kupas dan iris tipis untuk melapisi bagian atas pie)

Cara membuat : - kocok telur dan "no sugar" sampai mengembang *halloo halo..mixer saya baru. Hadiah ngumpulin point di swalayan. bangga bener deh * . Lalu masukan semua bahan di atas kecuali apel yang diiris tipis. Aduk sampai rata. Tuang adonan di loyang pie , atur apel yang telah diiris titip diatas adonan sampai semua permukaannya tertutup. Lalu taburi cinnamon bubuk. Panggang pie di oven panas selama... errr.. lupa. kira kira aja. Jangan lupa di jenguk setiap 5 menit, biar nggak kebablasan gosong... hehehe.

Gampang khan? Selamat mencoba ya!

Eh ya, mau sharing fotonya Leonz yang saat makan apple pie. Senang banget. Akhirnya... mommy bisa juga bikin kue :-)


Wednesday, June 8, 2011

casting inc

Leah dan Leonz sungguh anak anak yang beruntung. Memiliki wajah plek seperti mamanya yang ayu gabungan ayah dan ibunya. Mereka diminati agen pencari model. Wajah blasteran tampaknya sedang naik daun di asia.

Saya pensiunan super model *bohong besar sodara sodara!*, tapi saya nggak berambisi supaya Leonz Leah terjun ke dunia tersebut. Bukannya apa apa. Saya tahu anak anak saya.

Sebagai drama queen habis habisan di rumah, Leah paling ogah di foto dan bergaya cantik cantikan di depan kamera. Maunya bergaya konyol. Sempet curiga jangan jangan Leah bercita cita jadi pelawak. Standar gayanya Leah, seperti ini :


Leonz lain lagi. Saking gantengnya sering menipu habis mas-mas agen model. Nggak ada yang nyangka kalau Leonz adalah anak dengan kebutuhan khusus yang saat ini belum verbal (soon ya nak. janji kamu akan bicara!) *sowry... diselingi doa ibu*.

Sebenernya, Leonz seneng banget gaya gaya-an di depan kamera. Cumaannn.. yang ngarahin musti ekstra sabar. Dari 103 kali jepret cuman 2 yang bagus. Sisanya meleng atau nyengir yang nggak semestinya. Dan saya nggak yakin bakal ada yang sesabar itu, mau punya model yang susah diarahin. Ini hasil jepretan yang berhasil :



Karena penasaran dan gagal menolak tawaran mas agen, akhirnya saya mencoba ikutan casting. Di waktu dan tempat yang berbeda.

Untuk Leah. Casting iklan untuk produk susu anak anak. Dan gagal total. Leah mogok bergaya dan bilang begini di depan mas tukang casting , "I don't want to say anything. I don't like this man mommy!"

Untuk Leonz. Casting iklan untuk asuransi. Gagal total. Leonznya sih tampak senang. Tapi saya, mamanya nggak nyaman dengan situasi sekitar. Apalagi mendengar suara mas casting yang menggelegar mengarahkan si anak. Saya yang merasa grogi dan demam panggung. Maka sebelum dapat giliran, kita ngacir pulang .

Jujur saya nggak nyaman sama suasana menunggu dan proses casting.

Kesan pertama saat sampai di sana.... bingung. Banyak banget anak anak bersama orang tuanya. Mirip ruang tunggu dokter anak. Begitu datang, kita harus mengisi daftar nama dan mendapat nomer panggil.

Kesan kedua .... geli. Melihat para orang tua yang berambisi gede. Kebanyakan anak terlihat takut. Masing masing ibu berusaha mengajarkan "kisi kisi" jalannya casting.

Kesan ketiga, kasihan.

Anak anak yang mungkin merasa nggak nyaman tapi terpaksa berada di situ.

Kasihan melihat anak umur 3 tahun yang ukurannya 3 kali lebih besar ke samping dari Leah. Mungkin terlihat bagus untuk iklan susu atau vitamin. Tapi berbahaya untuk kesehatannya. Tambah miris , sang mama terlihat bangga dengan ukuran tubuh anaknya.

Melihat anak perempuan umur 7 tahun. Bertingkah dan berdandan seperti a real lady. Caranya berpakaian, duduk dan tersenyum. Nggak lupa kosmetik yang tebal. Kasihan.

Kesan keempat, sebal. Sebal dengan mas mas tukang casting. Mereka terdengar tidak menyenangkan. Kasar. Parahnya lagi mereka terlalu physical, memanggil anak anak dengan bentuk fisiknya, si gendut, si bule, dll.

Nggak heran Leah merasa makin nggak nyaman. Dan saya kuatir berat dengan Leonz. Boro boro akan sabar mengarahkan. Yang ada saya takut terlontar dari mereka kata kata yang nggak enak terhadap Leonz *yap.. saya ibu yg sensitif apalagi bila menyangkut keadaan anak special need saya*.

Tapi mungkin saya salah. Mungkin anak anak di tempat tersebut melakukannya dengan sukarela. Mengejar impian. Makanya salut untuk mereka yang berhasil jadi bintang. Yang memulai dari bawah. Dan pastinya nggak semua mas mas casting tidak menyenangkan seperti yang saya alami.

Malamnya sebelum tidur. Di hari yang sama dengan casting. Leah minta saya berjanji.

"Please do not bring me to that place anymore, mommy! I don't like that place. The place with the camewa (camera) and terrible man", katanya sambil untel untel rambut saya.

"Iya Eyah,.. mommy janji!"

Dan untuk Leonz, saya juga janji.

Mommy tau kamu suka. Lain kali kita coba lagi ya Nak. Saat kamu sudah lebih baik, lebih siap. Dan sepanjang kita berdua merasa nyaman berada di sana.