29 tahun lalu *aaahhh ketebak deh umur saya* , jauhhh di Menado.
Saya.
Imut, umur 4 tahun, kurus, pesek, item dan bermata sipit melonjak lonjak kegirangan. Orang tua saya berkata, "Nak, kita pindah. Papamu harus sekolah di Jakarta!".
Saya belum ngerti apa artinya pindah.
Bagi saya saat itu "pindah" kedengarannya seperti sesuatu yang menyenangkan. Rumah baru, suasana baru, dan hey.. asik bisa naik pesawat. Jaman airport masih di Kemayoran, naik pesawat terbang adalah kemewahan tersendiri buat saya.
2 tahun kemudian. Saya kembali melonjak kegirangan. Orang tua bilang, "Nak, kita pindah lagi. Papamu ditempatkan di Sintang!".
Dan saat itu saya mulai sedikit melek apa artinya "pindah". Tidak selamanya menyenangkan.
Inget banget. Saya dan kakak saya nongkrong didepan kedua orang tua saya yang membungkus sendiri pecah belah, perabotan dengan kertas koran.
Boro boro bisa membantu. Mengurus diri sendiri saja nggak becus :-)
Sintang, pedalaman Kalimantan Barat 26 tahun lalu.
Menuju ke sana, dari Jakarta kita pakai pesawat ke Pontianak. Disambung dengan bus yang rasanya tujuh hari tujuh malem baru sampai.
Kebayang travelling dengan dua anak kecil dan satu balita. Perjalanan darat yang lamanya seperti tujuh hari tujuh malem tadi diselingi dengan sessi muntah saya dan sessi puup dan pipis di celana adik saya. Jaman dulu pampers mahal oii.
Apes orang tua saya *sambil inget inget sessi muntah Leonz di pesawat yang membuat baju saya basah kuyup kena muntahan*
Sintang saat itu cupu dan seru banget.
Listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Kecuali tanggal 16 sama 17 Agustus. Karena ada siaran langsung pidato kenegaraan Presiden dan Upacara 17-an di Jakarta. Tau ya..satu satunya stasiun TV saat itu. Makanya saat itu semangat banget pas 17-an :P.
Karena listriknya nggak 24 jam, kita nggak punya kulkas. Suka kagum sama temen nyokap yang punya pabrik es batu. Keren, bisa punya listrik 24 jam.
Mobil masih jarang. Angkutan umum nggak ada. Kemana mana kalo nggak jalan kaki, sepeda atau motor. Betis saya kenceng. Walaupun akhirnya ayah saya mendapat mobil dines, saya tetep ogah naik. Keukeuh jalan kaki. Hanya gara gara melihat, mobil itu multi fungsi. Sesekali dipakai mengangkut mayat hiii!
Serunya lagi disana. Pusat pertokoan adanya di seberang sungai. Jembatan belum ada. Jadi setiap kali akan berbelanja kita harus menggunakan alkon, perahu kayu bermesin kecil.
2 tahun lebih tinggal di situ, dan orang tua saya kembali berkata, " Nak, kita pindah lagi!"
..... dan lagi dan lagi dan lagi...
Sampai akhirnya suatu waktu mereka memutuskan anak anaknya tidak lagi ikut berpindah pindah. Bikin repot mungkin. Jadi lebih baik disekolahkan saja di satu tempat yang stabil, aman dan beradab. Biar pinter..hahahah.
Pengalaman pindah pindah tadi sempat membuat saya berpikir, nggak!. Nggak mau punya suami yang kerjaannya selalu berpindah pindah. Capek.
Saya, saat ini nggak kurus lagi tapi tetep pesek, item dan sipit
Mendapat suami yang pekerjaannya juga membuat kami berpindah pindah. Hampir 10 tahun menikah, empat kali berpindah.
Sebagai wanita positive cantik nggak mau ngomongin tentang susahnya cari skolah, cari nanny yang bisa enggris dan terpercaya, cari therapist tuk Leonz, cari bahan makanan endonesah, menjawab pertanyaan penasaran anak umur 4 tahun.."oh why why..we are moving again!" pindah pindah. Yang seneng senengnya aja.
Hidup berpindah pindah itu membuat saya kreatif. Dari males masak, jadi rajin masak. Pake bahan seadanya. Nggak ada daun jeruk, kulit jeruk sunkist juga oke. Ngidam di negeri orang itu pedih, jendral! :P
Hidup berpindah pindah membuat jumlah teman saya bertambah *Salim tangan satu satu ke temen temen yang kebetulan baca*. Inget, teman adalah keluarga saat kita berada di negeri orang.
Apahhh..? Tambah bahasa? hehehehhe.. ini nggak. Saya males blajar bahasa setempat. Putus asa, nggak bisa bisa soalnya. Bahasa Enggris dan tubuh cukup kok .... ehh ;-).
Kaya pengalaman dan kenangan. Ini nggak ada duanya. Juga untuk anak anak saya nanti.
Mungkin 30 tahun ke depan Leonz akan cerita gimana tentang musim dingin di China, serunya punya pengasuh yang nggak bisa bahasa Inggris, asiknya naik ojeg tiap sore di lewat soi kecil di Bangkok atau menyenangkannya bermain dengan anak anak kampung belakang hotel tanpa harus berbicara dengan mereka.
Leah mungkin akan cerita anehnya berpindah pindah rumah, berada di gendongan mamanya naik turun tangga BTS, jajan mangga muda di pinggir jalan, ribetnya liat mamanya packing, teman temannya dari sekolah yang berbeda.
Seperti yang saya cerita tadi.
Satu yang saya berusaha jelaskan ke mereka. Bahwa rumah kita adalah dimana saja, sepanjang kita semua selalu bersama.
Hmm... tadi itu jawaban untuk anak anak yang masih ikut dengan orang tuanya ya. Nanti saat mereka sudah besar dan bersekolah di tempat lain, tentu beda lagi penjelasannya.
Buat saya sendiri home is where my heart belongs. Suami dan anak anak adalah rumah saya. Di dekat mereka, saya merasa nyaman.
Eh ya, postingan ini di buat dalam rangka kita kembali pindah. Pindahan ke-5 kalinya, sepanjang menikah dengan suwami. Ke sini :
Dan anak anak saya pun melonjak kegirangan. Saat saya berkata "we will moving, again!"
Ps : berdasarkan soal cerita di atas, ada yang bisa nebak umur saya berapa? Yap, bentul!!! 25 tahun *grins*