Saya tertawa geli membaca status seorang teman di salah satu situs pertemanan. Isinya kurang lebih begini ;
Saya jadi "ngeh" sambil ketawa guling guling setelah baca komentar di bawahnya, yang semuanya dari kaum perempuan. Isinya, tentu saja mendukung pembasmian para "ayam". Hanya cara menyampaikannya yang lucu. Berapi api, penuh esmosi.
Solidaritas perempuan yang mungkin pernah terluka karena "ayam" atau yang merasa nggak nyaman dan terancam akan ke-eksis-an "ayam". Ditambah para komentator tersebut mungkin sedang mengalami PMS. Membuat saya serasa membaca selebaran dari organisasi tertentu yang menghimbau massa-nya membakar tempat tempat yang dianggap maksiat.
Bukan berarti saya nggak simpati dengan teman saya dan para komentatornya. Saya ngerti banget yang mereka rasakan.
Persis yang saya rasa 2,5 tahun lalu saat akan pindah ke sini.
Siapa yang nggak kenal Bangkok. Kota yang terkenal dengan kehidupan malam dan wisata seks-nya. Ditambah cerita kiri kanan, banyak para ekspat yang pernikahannya "mbubar" di sini. Cerita klise, si suami tergoda ayam.
Para wanita dan "setengah" wanitanya cantik cantik, gemulai dan berbadan langsing. Saat itu saya sedang hamil, ukuran badan sebesar kulkas 4 pintu. Kebayang nggak gimana sensitif dan merasa terancamnya saya. Tiap ada perempuan (atau setengah perempuan Thailand ("ayam" atau bukan "ayam") yang senyum dan ngelirik swami, rasanya pengen dilempar pake tas isi batu bata.
Ahh.... perempuan bersuami mana yang nggak deg-deg-an tinggal diseputaran kandang "ayam".
Tapi kemudian kenyataannya nggak seperti yang saya bayangkan. Suami saya nggak pernah keluar malem tanpa saya. Kita tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Sarapan bareng, makan siang bareng, makan malem bareng. Rasa aman saya mulai muncul.
Saat saya hamil besar, saya sering diberi tempat duduk di bts/sky train oleh mbak-mbak pekerja seks. Beberapa kali dibantu mereka menaruh belanjaan dari trolley ke meja kasir, tanpa saya minta. Mungkin mereka kasian, perut saya terlalu besar untuk membungkuk. Walaupun berpakaian tidak sopan dan berdandan menor, tapi tingkah laku mereka terhadap saya -si ibu hamil gendut- persis seperti yang diajarkan di pelajaran PMP dulu, waktu SD.
Sampai suatu malam, saat saya dan suami kencan di sekitar daerah hiburan malam. Dari jendela restaurant terlihat beberapa mbak mbak pekerja seks merubungi khun kaki lima penjual baju anak anak.
Lalu saya berpikir. Mereka nggak muda lagi. Mereka mungkin seperti saya, seorang ibu. Bedanya, mereka nggak seberuntung saya. Yang dibekali pendidikan oleh orang tua, yang diberi akal waras untuk nggak melakukan hal hal yang nggak baik.
Mereka hanya bekerja, mencari makan. Mungkin uangnya di kirim ke kampung untuk hidup anak-anaknya dan keluarganya atau mungkin dipakai bersenang senang sendiri. Mungkin mencoba peruntungan untuk mendapat jodoh, penghidupan yang lebih baik. Entahlah, itu urusan mereka. Mereka juga manusia seperti kita, punya mimpi yang ingin diwujudkan.
Kemudian saya memandang suami saya. Dia asik bercerita sambil memanggang tangan saya. Kembali saya merasa beruntung. Saya cinta dia. Dia bahagia bersama saya. Sepanjang kita berdua bahagia satu sama lain, kita nggak akan mencari yang "aneh-aneh" di luar sana.
Tiba tiba saya merasa bodoh karena membenci mereka. Saya nggak kenal mereka. Mereka nggak mengganggu kehidupan saya. Bukan berarti saya setuju dengan mata pencaharian mereka. Anggap saja mereka penyedia jasa service buat para pria yang "kebelet". Hitung hitung menurunkan angka perkosaan.
Maka inilah saya. Hidup penuh toleransi di seputaran kandang ayam.
ps: ada yang tau nggak, kenapa ayam disama sama-in dengan penjaja seks? Seorang teman saya tanya... dan saya juga nggak tau kenapa. :P
ada yang tau nggak di mana bisa ngedapetin license for killing "ayam"?Tadinya saya nggak ngerti "ayam" yang dimaksud teman saya adalah ayam dalam arti sesungguhnya atau ayam dalam arti penjaja seks komersial. Untuk membunuh ayam dalam arti sebenernya nggak mesti pake ijin segala khan ya. Kecuali ayam milik tetangga, tentunya.
Saya jadi "ngeh" sambil ketawa guling guling setelah baca komentar di bawahnya, yang semuanya dari kaum perempuan. Isinya, tentu saja mendukung pembasmian para "ayam". Hanya cara menyampaikannya yang lucu. Berapi api, penuh esmosi.
Solidaritas perempuan yang mungkin pernah terluka karena "ayam" atau yang merasa nggak nyaman dan terancam akan ke-eksis-an "ayam". Ditambah para komentator tersebut mungkin sedang mengalami PMS. Membuat saya serasa membaca selebaran dari organisasi tertentu yang menghimbau massa-nya membakar tempat tempat yang dianggap maksiat.
Bukan berarti saya nggak simpati dengan teman saya dan para komentatornya. Saya ngerti banget yang mereka rasakan.
Persis yang saya rasa 2,5 tahun lalu saat akan pindah ke sini.
Siapa yang nggak kenal Bangkok. Kota yang terkenal dengan kehidupan malam dan wisata seks-nya. Ditambah cerita kiri kanan, banyak para ekspat yang pernikahannya "mbubar" di sini. Cerita klise, si suami tergoda ayam.
Para wanita dan "setengah" wanitanya cantik cantik, gemulai dan berbadan langsing. Saat itu saya sedang hamil, ukuran badan sebesar kulkas 4 pintu. Kebayang nggak gimana sensitif dan merasa terancamnya saya. Tiap ada perempuan (atau setengah perempuan Thailand ("ayam" atau bukan "ayam") yang senyum dan ngelirik swami, rasanya pengen dilempar pake tas isi batu bata.
Ahh.... perempuan bersuami mana yang nggak deg-deg-an tinggal diseputaran kandang "ayam".
Tapi kemudian kenyataannya nggak seperti yang saya bayangkan. Suami saya nggak pernah keluar malem tanpa saya. Kita tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Sarapan bareng, makan siang bareng, makan malem bareng. Rasa aman saya mulai muncul.
Saat saya hamil besar, saya sering diberi tempat duduk di bts/sky train oleh mbak-mbak pekerja seks. Beberapa kali dibantu mereka menaruh belanjaan dari trolley ke meja kasir, tanpa saya minta. Mungkin mereka kasian, perut saya terlalu besar untuk membungkuk. Walaupun berpakaian tidak sopan dan berdandan menor, tapi tingkah laku mereka terhadap saya -si ibu hamil gendut- persis seperti yang diajarkan di pelajaran PMP dulu, waktu SD.
Sampai suatu malam, saat saya dan suami kencan di sekitar daerah hiburan malam. Dari jendela restaurant terlihat beberapa mbak mbak pekerja seks merubungi khun kaki lima penjual baju anak anak.
Lalu saya berpikir. Mereka nggak muda lagi. Mereka mungkin seperti saya, seorang ibu. Bedanya, mereka nggak seberuntung saya. Yang dibekali pendidikan oleh orang tua, yang diberi akal waras untuk nggak melakukan hal hal yang nggak baik.
Mereka hanya bekerja, mencari makan. Mungkin uangnya di kirim ke kampung untuk hidup anak-anaknya dan keluarganya atau mungkin dipakai bersenang senang sendiri. Mungkin mencoba peruntungan untuk mendapat jodoh, penghidupan yang lebih baik. Entahlah, itu urusan mereka. Mereka juga manusia seperti kita, punya mimpi yang ingin diwujudkan.
Kemudian saya memandang suami saya. Dia asik bercerita sambil memanggang tangan saya. Kembali saya merasa beruntung. Saya cinta dia. Dia bahagia bersama saya. Sepanjang kita berdua bahagia satu sama lain, kita nggak akan mencari yang "aneh-aneh" di luar sana.
Tiba tiba saya merasa bodoh karena membenci mereka. Saya nggak kenal mereka. Mereka nggak mengganggu kehidupan saya. Bukan berarti saya setuju dengan mata pencaharian mereka. Anggap saja mereka penyedia jasa service buat para pria yang "kebelet". Hitung hitung menurunkan angka perkosaan.
Maka inilah saya. Hidup penuh toleransi di seputaran kandang ayam.
ps: ada yang tau nggak, kenapa ayam disama sama-in dengan penjaja seks? Seorang teman saya tanya... dan saya juga nggak tau kenapa. :P