Saturday, September 5, 2009

tinggal di seputaran kandang ayam

Saya tertawa geli membaca status seorang teman di salah satu situs pertemanan. Isinya kurang lebih begini ;
ada yang tau nggak di mana bisa ngedapetin license for killing "ayam"?
Tadinya saya nggak ngerti "ayam" yang dimaksud teman saya adalah ayam dalam arti sesungguhnya atau ayam dalam arti penjaja seks komersial. Untuk membunuh ayam dalam arti sebenernya nggak mesti pake ijin segala khan ya. Kecuali ayam milik tetangga, tentunya.

Saya jadi "ngeh" sambil ketawa guling guling setelah baca komentar di bawahnya, yang semuanya dari kaum perempuan. Isinya, tentu saja mendukung pembasmian para "ayam". Hanya cara menyampaikannya yang lucu. Berapi api, penuh esmosi.

Solidaritas perempuan yang mungkin pernah terluka karena "ayam" atau yang merasa nggak nyaman dan terancam akan ke-eksis-an "ayam". Ditambah para komentator tersebut mungkin sedang mengalami PMS. Membuat saya serasa membaca selebaran dari organisasi tertentu yang menghimbau massa-nya membakar tempat tempat yang dianggap maksiat.

Bukan berarti saya nggak simpati dengan teman saya dan para komentatornya. Saya ngerti banget yang mereka rasakan.

Persis yang saya rasa 2,5 tahun lalu saat akan pindah ke sini.

Siapa yang nggak kenal Bangkok. Kota yang terkenal dengan kehidupan malam dan wisata seks-nya. Ditambah cerita kiri kanan, banyak para ekspat yang pernikahannya "mbubar" di sini. Cerita klise, si suami tergoda ayam.

Para wanita dan "setengah" wanitanya cantik cantik, gemulai dan berbadan langsing. Saat itu saya sedang hamil, ukuran badan sebesar kulkas 4 pintu. Kebayang nggak gimana sensitif dan merasa terancamnya saya. Tiap ada perempuan (atau setengah perempuan Thailand ("ayam" atau bukan "ayam") yang senyum dan ngelirik swami, rasanya pengen dilempar pake tas isi batu bata.

Ahh.... perempuan bersuami mana yang nggak deg-deg-an tinggal diseputaran kandang "ayam".

Tapi kemudian kenyataannya nggak seperti yang saya bayangkan. Suami saya nggak pernah keluar malem tanpa saya. Kita tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Sarapan bareng, makan siang bareng, makan malem bareng. Rasa aman saya mulai muncul.

Saat saya hamil besar, saya sering diberi tempat duduk di bts/sky train oleh mbak-mbak pekerja seks. Beberapa kali dibantu mereka menaruh belanjaan dari trolley ke meja kasir, tanpa saya minta. Mungkin mereka kasian, perut saya terlalu besar untuk membungkuk. Walaupun berpakaian tidak sopan dan berdandan menor, tapi tingkah laku mereka terhadap saya -si ibu hamil gendut- persis seperti yang diajarkan di pelajaran PMP dulu, waktu SD.

Sampai suatu malam, saat saya dan suami kencan di sekitar daerah hiburan malam. Dari jendela restaurant terlihat beberapa mbak mbak pekerja seks merubungi khun kaki lima penjual baju anak anak.

Lalu saya berpikir. Mereka nggak muda lagi. Mereka mungkin seperti saya, seorang ibu. Bedanya, mereka nggak seberuntung saya. Yang dibekali pendidikan oleh orang tua, yang diberi akal waras untuk nggak melakukan hal hal yang nggak baik.

Mereka hanya bekerja, mencari makan. Mungkin uangnya di kirim ke kampung untuk hidup anak-anaknya dan keluarganya atau mungkin dipakai bersenang senang sendiri. Mungkin mencoba peruntungan untuk mendapat jodoh, penghidupan yang lebih baik. Entahlah, itu urusan mereka. Mereka juga manusia seperti kita, punya mimpi yang ingin diwujudkan.

Kemudian saya memandang suami saya. Dia asik bercerita sambil memanggang tangan saya. Kembali saya merasa beruntung. Saya cinta dia. Dia bahagia bersama saya. Sepanjang kita berdua bahagia satu sama lain, kita nggak akan mencari yang "aneh-aneh" di luar sana.

Tiba tiba saya merasa bodoh karena membenci mereka. Saya nggak kenal mereka. Mereka nggak mengganggu kehidupan saya. Bukan berarti saya setuju dengan mata pencaharian mereka. Anggap saja mereka penyedia jasa service buat para pria yang "kebelet". Hitung hitung menurunkan angka perkosaan.

Maka inilah saya. Hidup penuh toleransi di seputaran kandang ayam.

ps: ada yang tau nggak, kenapa ayam disama sama-in dengan penjaja seks? Seorang teman saya tanya... dan saya juga nggak tau kenapa. :P

Saturday, April 11, 2009

kembali bercerita

Saya kembali.

Bercerita lagi tentang ini itu setelah lama menghilang. Entah kenapa beberapa minggu terakhir rasanya malas untuk mulai menulis. Selain karena sibuk tentunya. Punya dua anak yang battery nya nggak pernah kosong , suami ganteng dan sexy serta kembali melukis membuat energy saya habis... bis. Tidak sempat lagi menulis. Ah ya, tentu saja ditambah candu facebook yang meracuni hidup saya :P.

Berikut ini adalah beberapa hal nggak penting yang terjadi selama saya vacum bercerita;

Pertama, Leonz Leah tambah besar. Lebih ber-interaksi satu sama lain. Mereka mulai sadar sebagai kakak adik nggak afdol rasanya kalau nggak berantem. Permainan yang sedang jadi "hips" saat ini adalah "smack down" diiringi aksi senggol dan cubit sana sini. Setiap babak diselingi teriakan "mammmaa!", "daddyyy!", "yaya!", "no Eonzzz!" serta tentu saja tangisan bombay Leah. Di akhir permainan, kedua pihak saling peluk cium dan bermaaf-maafan.

Kedua, saya kira saya menopouse dini. Menunggu nunggu period yang nggak kunjung datang sejak hamil Leah. Selain merasakan "hot flush" belakangan saya lebih sensitif. Sempat menyumpah dan berharap suatu saat nanti yang bersangkutan ada di posisi saya sebal terhadap seorang teman. Atas komentarnya di situs "muka buku" saya. Dia bilang, anggap saja joke tentang autism seperti joke joke ringan lainnya sebab orang yang berjiwa besar adalah orang yang bisa menertawakan kekurangan dirinya sendiri.

Mungkin bapak itu benar. Tapi saya tidak cukup kuat untuk berjiwa besar dalam hal ini. Untuk bisa menertawakan diri sendiri saat menghadapi anak yang saya cinta tidak berkembang seperti anak anak lainnya. Saat harus menenangkan anak saya saat tantrum-nya datang. Saat anak saya menangis dan berteriak histeris tanpa sebab. Saat berusaha membuat anak saya mau menatap mata saya. Saat terus berusaha, menunggu dan masih menunggu suatu hari nanti anak saya berbicara.

Ketiga, ternyata saya salah tentang menopause. Setelah dua puluh enam bulan merasa innocent seperti anak yang belum akil balig tidak mengalami period, akhirnya empat hari lalu muncul juga. Pas sehari sebelum kita berangkat ke pantai ( thanks to tampoon, saya tetap bisa berbikini di masa period :P ).

Saya masih tetap menyusui. Karena itu menstruasi saya tertunda. Hot flush yang sempat saya rasakan belakangan ternyata dirasakan juga oleh seluruh penduduk Thailand. Suhu udara bulan Maret dan puncaknya April memang panas. Dan rasa sensitif saya tentang komentar teman tadi adalah wajar, sebagai ibu dari anak penyandang autism.

Keempat, saat menulis posting ini suami ganteng saya sedang nonton TV dengan resahnya. Resah karena ingin memakai komputer juga. Chanel TV mulai berganti ganti dalam jeda yang sangat singkat. Dari CNN pindah ke E Channel, lompat ke CCTV 9 kemudian DW-TV. Belakangan merambah ke channel dalam bahasa bahasa yang dia sendiri nggak ngerti. Ini pertanda saya udahan nge-blog dulu. Waktu saya di depan kompuer sudah habis untuk malam ini.

Ahh ya... yang terakhir, happy easter dan happy songkran bagi yang merayakan!!!