Friday, December 2, 2011

tentang pindahan

29 tahun lalu *aaahhh ketebak deh umur saya* , jauhhh di Menado.

Saya. 

Imut, umur 4 tahun, kurus, pesek, item dan bermata sipit melonjak lonjak kegirangan. Orang tua saya berkata, "Nak, kita pindah. Papamu harus sekolah di Jakarta!".

Saya belum ngerti apa artinya pindah. 

Bagi saya saat itu "pindah" kedengarannya seperti sesuatu yang menyenangkan. Rumah baru, suasana baru, dan hey.. asik bisa naik pesawat. Jaman airport masih di Kemayoran, naik pesawat terbang adalah kemewahan tersendiri buat saya.

2 tahun kemudian. Saya kembali melonjak kegirangan. Orang tua bilang, "Nak, kita pindah lagi. Papamu ditempatkan di Sintang!".
Dan saat itu saya mulai sedikit melek apa artinya "pindah". Tidak selamanya menyenangkan.

Inget banget. Saya dan kakak saya nongkrong didepan kedua orang tua saya yang membungkus sendiri pecah belah, perabotan  dengan kertas koran.

Boro boro bisa membantu. Mengurus diri sendiri saja nggak becus :-)

Sintang, pedalaman Kalimantan Barat 26 tahun lalu. 

Menuju ke sana, dari Jakarta kita pakai pesawat ke Pontianak. Disambung dengan bus yang rasanya tujuh hari tujuh malem baru sampai. 

Kebayang travelling dengan dua anak kecil dan satu balita.  Perjalanan darat yang lamanya seperti tujuh hari tujuh malem tadi diselingi dengan sessi muntah saya dan sessi puup dan pipis di celana adik saya. Jaman dulu pampers mahal oii.

Apes orang tua saya *sambil inget inget sessi muntah Leonz di pesawat yang membuat baju saya basah kuyup kena muntahan*

Sintang saat itu cupu  dan seru banget. 

Listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Kecuali tanggal 16 sama 17 Agustus. Karena ada siaran langsung pidato kenegaraan Presiden dan Upacara 17-an di Jakarta. Tau ya..satu satunya stasiun TV saat itu. Makanya saat itu semangat banget pas 17-an :P.

Karena listriknya nggak 24 jam, kita nggak punya kulkas. Suka kagum sama temen nyokap yang punya pabrik es batu. Keren, bisa punya listrik 24 jam.

Mobil masih jarang. Angkutan umum nggak ada. Kemana mana kalo nggak jalan kaki, sepeda atau motor. Betis saya kenceng. Walaupun akhirnya ayah saya mendapat mobil dines, saya tetep ogah naik. Keukeuh jalan kaki. Hanya gara gara melihat, mobil itu multi fungsi. Sesekali dipakai mengangkut mayat hiii!

Serunya lagi disana. Pusat pertokoan adanya di seberang sungai. Jembatan belum ada. Jadi setiap kali akan berbelanja kita harus menggunakan alkon, perahu kayu bermesin kecil.

2 tahun lebih tinggal di situ, dan orang tua saya kembali berkata, " Nak, kita pindah lagi!"

..... dan  lagi dan lagi dan lagi...

Sampai akhirnya suatu waktu mereka memutuskan anak anaknya tidak lagi ikut berpindah pindah. Bikin repot mungkin.  Jadi lebih baik disekolahkan saja di satu tempat yang stabil, aman dan beradab. Biar pinter..hahahah.

Pengalaman pindah pindah tadi sempat membuat saya berpikir, nggak!. Nggak mau punya suami yang kerjaannya selalu berpindah pindah. Capek.

Saya, saat ini nggak kurus lagi tapi tetep pesek, item dan sipit

Mendapat suami yang pekerjaannya juga membuat kami berpindah pindah. Hampir 10 tahun menikah, empat kali berpindah.

Sebagai wanita positive cantik nggak mau ngomongin tentang susahnya cari skolah, cari nanny yang bisa enggris dan terpercaya, cari therapist tuk Leonz, cari bahan makanan endonesah, menjawab pertanyaan penasaran anak umur 4 tahun.."oh why why..we are moving again!"   pindah pindah. Yang seneng senengnya aja.

Hidup berpindah pindah itu membuat saya kreatif. Dari males masak, jadi rajin masak. Pake bahan seadanya. Nggak ada daun jeruk, kulit jeruk sunkist juga oke.  Ngidam di negeri orang itu pedih, jendral! :P

Hidup berpindah pindah membuat jumlah teman saya bertambah *Salim tangan satu satu  ke temen temen yang kebetulan baca*. Inget, teman adalah keluarga saat kita berada di negeri orang.

Apahhh..? Tambah bahasa? hehehehhe.. ini nggak. Saya males blajar bahasa setempat. Putus asa, nggak bisa bisa soalnya.  Bahasa Enggris dan tubuh cukup kok .... ehh ;-).

Kaya pengalaman dan kenangan. Ini nggak ada duanya. Juga untuk anak anak saya nanti. 

Mungkin 30 tahun ke depan Leonz akan cerita gimana tentang musim dingin di China, serunya punya pengasuh yang nggak bisa bahasa Inggris, asiknya naik ojeg tiap sore di lewat soi kecil di Bangkok atau menyenangkannya bermain dengan anak anak kampung belakang hotel tanpa harus berbicara dengan mereka.

Leah mungkin akan cerita anehnya berpindah pindah rumah, berada di gendongan mamanya naik turun tangga BTS, jajan mangga muda di pinggir jalan,  ribetnya liat mamanya packing, teman temannya dari sekolah yang berbeda.

Seperti yang saya cerita tadi. 

Satu yang saya berusaha jelaskan ke mereka. Bahwa rumah kita adalah dimana saja, sepanjang kita semua selalu bersama.

Hmm... tadi itu jawaban untuk anak anak yang masih ikut dengan orang tuanya ya.  Nanti saat mereka sudah besar dan bersekolah di tempat lain, tentu beda lagi penjelasannya.

Buat saya sendiri home is where my heart belongs. Suami dan anak anak adalah rumah saya. Di dekat mereka, saya merasa nyaman.

Eh ya, postingan ini di buat dalam rangka kita kembali pindah. Pindahan ke-5 kalinya, sepanjang menikah dengan suwami. Ke sini :





Dan anak anak saya pun melonjak kegirangan. Saat saya berkata "we will moving, again!"

Ps : berdasarkan soal cerita di atas, ada yang bisa nebak umur saya berapa? Yap, bentul!!! 25 tahun *grins*

Wednesday, October 5, 2011

bye bye breastfeeding

Tanggal 19 Oktober nanti pas 4 tahun saya menyusui Leah.

HAHH??? EMPAT TAHUN?!

*Pembaca terperangah. Para pembaca wanita langsung ngusep ngusep dada. Saya yang bercerita juga ikutan ngintip dada sendiri*

Iya. Empat tahun. Kedengerannya lama tapi buat yang menjalankan beda. Empat tahun rasanya cepat berlalu.

Walau sering menjadi objek rebutan anak dan swami empat tahun menyusui ternyata membuat perasaan saya dengan Leah deket banget. Hubungan darah ibu dan anak dipererat breast connections.

Itu yang saya rasakan. Saya seperti group band, dia groupies-nya. Saat saya sedih, Leah tau. Dia nggak ikutan sedih, tapi berusaha menghibur mamanya. Begitu juga sebaliknya. Sepertinya kita punya channel telepati khusus saya dan dia. Buat dia, saya idolanya.

*Nyengir dulu. Akhirnya punya fans juga*

Pasti pada bertanya tanya ya, apa saya nggak risih menyusui anak ukuran sebesar ituh?

Tahun pertama dan kedua saya nggak risih. Pede banget. Menyusui dimana mana. Para pemirsa yang kebeneran melihat juga mungkin lebih tertarik melihat dada saya daripada kegiatan menyusui itu sendiri...lol. *lalu dicibir pembaca*

Masuk tahun ke tiga, rasa risih mulai datang. Leah sudah mulai besar. Nggak terlihat pantes lagi. Untungnya setelah melewati proses negosiasi dan mediasi yang cukup panjang dan ruwet dengan si babil aka bayi labil umur "2 going on 12" , disepakati kegiatan menyusui hanya dilakukan di rumah.

Masuk tahun ke empat, kita berdua menambah kesepakatan baru. Kegiatan menyusui hanya dilakukan di tempat tidur dan hanya pada malam hari.

ASI exclusive memang hanya sampai si bayi umur 6 bulan. Sebagian orang tetap melanjutkan sampai umur dua tahun. Sebagian kecil lagi golongan muka tebal tetap menyusui walau anaknya sudah berumur lebih dari 3 tahun. Termasuk saya.

Sempat baca baca tentang pro dan kontra tentang extended breastfeeding ini. Salah satunya di sini. Tiap orang berbeda. Masing masing punya pemikiran sendiri. Untuk saya, selama produksi ASI masih lancar dan saya serta Leah masih menikmati kenapa tidak. Toh banyak keuntungan yang didapat dari menyusui anak balita.

Beneran. Banyak moment lucu terjadi. Ini salah satunya. Menyusui anak yang telah bisa bicara ternyata bisa sambil ngobrol. Saat rasa susunya agak beda, Leah protes.

  • - : "Mommy, kenapa rasa susunya aneh?", brenti nyusu. Diem tunggu jawaban.
  • + : "Memangnya kenapa?", sambil berusaha mengingat makan apa aja saya hari ini.
  • - : "Agak asem sih", lalu lanjut ngaASI.

Pernah juga kejadian. Selesai minum susu dia memandang mata saya. Mata buled bening nggak berdosa. Lalu bilang ;

  • - : "Thank you Mommy", senyum manis, langsung cium saya.
  • +: "Your welcome Leah. I Love you!", peluk peluk.
  • - : "I love you Mommy. And your MILK too!", tunjuk tunjuk dada saya

Ehh ya, walaupun susah pisah dengan ibunya anak extended breastfeeding itu ternyata mandiri . Dalam artian mampu mengerjakan apa apa sendiri. Mungkin karena mereka merasa lebih pede, nyaman dan aman.

Empat tahun menjadi busui rasanya sudah cukup. Dan dengan ini saya nyatakan menghentikan kegiatan menyusui terhitung mulai tanggal 19 Oktober nanti. Mudah mudahan prosesnya nanti dapat berjalan lancar dan hening.

Saya tahu banget senjata yang akan dipakai Leah untuk memboikot proses berhenti ASI. Kalau nggak dengan orasi panjang dan pertunjukan drama berjam jam yang diiringi tangisan, jeritan dan airmata.....

*Beli earplugs untuk swami dan Leonz*

..... atau disuguhi wajah melas begini selama beberapa hari.






Saat sudah berhenti nanti saya pasti akan sesekali sedih. Kangen peluk peluk Leah saat menyusui. Kangen ngerasain diuntel untel rambutnya pada saat menyusui. Kangen kompakan, senasib dan sependeritaan bersama: saya makan ubi, dia yang kentut kentut. Saya makan pete, dia ikutan bau pete puup-nya. Dia ingusan, saya ikut ingusan. Saya minum wine, kita berdua tidur nyenyak. Saya terkena cacar air, dia ikut ketularan.

Akan kangen semua kedekatan karena breast connections.


Untuk semua pihak yang selalu bertanya tanya kapan saya akan berhenti menyusui, perlu dikoreksi gossip yang beredar selama ini nggak bener. Yang benar adalah saat Leah berumur 4 (EMPAT) tahun. Sekali lagi 4 (E.M.P.A.T) tahun sodara sodara.!! Bukan 14 (empat belas) tahun.

Juga saya tegaskan.... saya tidak pernah operasi plastik memper-indah payudara. Sudah dari sana nya indah. Juga asal kita rajin menimba air dari sumur dan angkut angkut beras berolah raga , menyusui selama 4 tahun tidak mempengaruhi bentuk payudara.

Silahkan hubungi manager saya untuk keterangan lebih lanjut.

*Di BOOO.... para pembaca*

Sekian.

Friday, June 17, 2011

cerita barbie dan high chair

Ternyata bener. Keterbatasan membuat kita jadi kreatif.

Saat kecil dulu, late 80-ish waktu Barbie baru mulai nge-trend. Hampir semua anak perempuan di komplek rumah ortu saya punya Barbie. Saya juga. Akhirnya. Setelah berbulan bulan merengek minta dibelikan.

Inget banget. Bapak saya pulang dari Jakarta. Oleh olehnya boneka Barbie. Satu untuk adik saya, Barbie bule berambut pirang. Satu lagi untuk saya. Barbie berambut coklat dan berkulit coklat.

Barbie tok. Seneng banget rasanya. Walau nggak ada ekstra baju. Nggak ada rumahnya.

Berasa ikutan trendy pas anak anak perempuan di komplek ngumpul membawa Barbie dan perlengkapannya masing masing.

Tetangga belakang rumah punya rumah barbie. Sementara tetangga sebelah, baju Barbie nya empat. Gaya gaya deh. Ditambah sepatunya yang warna warni. Ada yang bahkan Barbie-nya sudah punya pacar Ken. Keren-keren deh.

Saya tetep seneng. Lihat koleksi punya temen yang bagus bagus.

Tapi dasar anak anak, terutama anak perempuan yang punya tendensi untuk pamer dan being bitchy satu sama lain.

Tiba tiba ada yang nyeletuk begini , "Barbie kamu kok bajunya itu itu aja. Emang abis mandi nggak pernah ganti ya?", katanya. "Lihat dong punya aku. Bajunya macem macem. Bagus bagus lagi. Ini aja baju pesta, baju pantai, banyak deh", lanjutnya ninggiin mutu.

Saya diem. Nggak ngerti mau jawab apa. Sumpah, saya nggak iri. Cuman gimana caranya ya.. supaya Barbie saya bajunya lebih banyak.

Punya satu Barbie juga setengah mati dapetnya. Banyak banget syaratnya. Raport musti bagus, di rumah musti baik dan bantu bantu nyokap. Setelah itu musti nunggu sampai bokap ada kesempatan travel ke Jakarta. Maklum kita tinggal Kalimantan yang saat itu masih udik. Masak iya ujug ujug saya minta beliin koleksi baju Barbie. Nggak bakal di kasih dong.

Akhirnya saya memutuskan, bikin baju Barbie sendiri. Setiap nyokap ke tukang jahit, saya kekeuh ikutan. Supaya bisa minta sisa sisa kain perca.

Bermodalkan kain perca, benang, jarum dan jari mungil nan lentik perlahan lahan Barbie saya pamornya naik di kalangan anak anak komplek. Bajunya paling banyak dan trendy. Dari baju santai ke baju pesta. Semuanya saya rancang dan jahit sendiri walau sebenernya kalo dipikir balik, baju pesta rancangan saya itu agak agak dangdut juga sih hemmm.

Bahkan beberapa teman sempat membeli baju Barbie bikinan saya tadi. Uangnya hasilnya, saya pakai jajan. Maklum waktu SD nggak pernah diberi uang jajan oleh orang tua.

Ey..sempat juga waktu itu berpikir untuk jadi designer saat besar nanti.

Anyway, balik lagi ke keterbatasan.

Kita bukan tipe orang tua yang menimbuni anak anak dengan berbagai macam mainan. Bukannya pelit. Pertama, harga mainan mahal oi. Jaman sekarang harus pinter pinter mengatur pengeluaran. Apalagi kita punya Leonz yang biayanya nggak sedikit. Kedua, mainan bukan segalanya. Cuman sekedar tools, alat, penunjang. Bermain bisa menggunakan apa saja. termasuk imaginasi dan barang barang yang ada di rumah hmm.. ngomong emang gampang.. Padahal sempet murka waktu Leonz melukis dihanduk pakai eyeshadow saya Dengan begini akan merangsang imaginasi dan kreatifitas anak.

Terbukti dan bikin saya bangga.

Anak saya pulang dari rumah temannya yang mainannya bannnyaakkk baget. Lalu cerita si A punya mainan ini dan itu. Namanya anak anak (well.. balita sebenernya. Leah masih 3 tahun), dia juga pengen dong. Dia pengen baby high chair buat "dolly" boneka bayi kesayangannya yang kusem dan bulukan itu. Biar gampang nyuapin makannya.

Saya jelasin kita nggak bisa beli beli begitu aja. Karena uang nggak seperti air, gampang di dapat. Jadi dia musti nunggu, kalau nggak saat dia ulang tahun atau untuk kado natal nanti.

Lucu deh, dia angguk angguk lalu bilang, "mommy.. we don't even need to buy it. The Santa Clause will buy it for me!"....lol

Keesokan harinya, saya pikir dia sudah lupa. Nggak taunya, ini yang saya lihat ketika mengintip di kamarnya :


pretend high chair untuk baby buluk

PS : beneran loh anak perempuan bertendency untuk pamer dan being bitchy. Bahkan terkadang terbawa sampai mereka dewasa. Nggak percaya? Coba cek deh profile dan status teman teman di FB, lol

Friday, June 10, 2011

makanan Leonz

Saya berubah ke arah yang positif. Dalam hal memasak. Dari yang tadinya severe pemalas dan berprinsip "beli aja deh". Menjadi moderate pemalas dengan prinsip "musti bikin sendiri nih" dan lebih kreatif.

Sejak hampir dua tahun ini Leonz diet. Makan makanan yang tidak mengandung gluten, casein/dairy dan gula sama sekali. Di luar itu, haram hukumnya. Tantangan sendiri untuk mamanya yang males masak.

Tahun pertama sih oke. Beruntung banget kita tinggal di asia yang banyak pilihan bahan makanan tidak mengandung gluten.

Masuk tahun ke dua, Leonz mulai bosen. Mungkin dia pikir, makanan gw kok gini gini terus. Tumisan lagi, sup sup lagi. Singkong lagi, tahu lagi lagi. Kapan gw makan makanan seperti temen temen.

Ternyata anak ganteng yang mirip banget sama mamanya ini semakin pinter, alert sadar akan lingkungan. Sadar bahwa gambar iklan burger dari resto siap saji A tampak menggiurkan.

Nggak tega dong saya ngeliat anak sendiri ngences seember banyaknya, gara gara iklan siyalan ituh. Maka lahirlah burger kw1 "burger ayam dengan beras ketan" .


Burger KW 1 dan yang aseli

Leonz seneng bukan kepalang. Saya puas sampai keubun ubun :-)

Gampanglah kalau hanya masakan. Yang repot suatu pagi Leonz nunjukin gambar makanan penutup mulut dari satu majalah *Arrghhhh...!!*. Saya kan paling nggak bisa bikin kue. Kue yang bahan bahannya normal aja selalu bertendensi bantat. Apalagi ini gluten free yang otomatis beda banget konsistensi tepungnya. Tapi demi anak tercinta, akhirnya saya coba.

Percobaan pertama buat kue ulang tahun Leonz. Dan bisa ditebak, gagal. Banana cup cake ceritanya. Tapi entah kenapa, menurut saya rasanya seperti nogosari panggang. Menurut si mbak perpaduan antara bika ambon dengan rasa nogosari. Menurut swami saya.. err..dia nggak tega ngasih komen. Leah, noel kue tersebut juga ogah. Leonz.. hmm bolehlah pikirnya pada pandangan pertama. Kemudian dijilat dikit langsung berubah pikiran.

Foto kue gagal saya nggak ada. Sengaja nggak dipajang :P.

Percobaan kedua setelah trauma panjang , berbulan bulan kemudian. Saya memberanikan diri bikin apple pie. Saya pikir pasti bisa. Karena kue saya slalu bantat. Apple pie bagian crust nya kan bantat juga. Dan,..sodara sodara BERHASIL!!!

Ini fotonya, "Leonz Leah Apple Pie"





Cara bikinnya gampang kok. Seperti bikin tumisan aja. Campur campur semua bahan , nggak pake takeran. Kalau keukeuh mau tau takerannya, tanya sendiri sama Leonz. Berhubung dia yang masukin tepung dan "no sugar" nya ke dalam adonan tanpa persetujuan mamanya. Jadi dia yang tau :P

Bahan : 1 telur, pengganti gula "no sugar" dari kirkman, tepung gluten free dari orgran, margarine cair (saya pake blue band. produk kebanggan indonesia, hehe ), ground almonds, cinnamon, vanilla bubuk, xathan gum (bukan gusi setan ya. Ini bubuk yang sering dipakai untuk membuat kue berbahan gluten free) dan tentu saja buah apel (sebagian di cincang untuk dimasukan dalam campuran adonan, sebagian di kupas dan iris tipis untuk melapisi bagian atas pie)

Cara membuat : - kocok telur dan "no sugar" sampai mengembang *halloo halo..mixer saya baru. Hadiah ngumpulin point di swalayan. bangga bener deh * . Lalu masukan semua bahan di atas kecuali apel yang diiris tipis. Aduk sampai rata. Tuang adonan di loyang pie , atur apel yang telah diiris titip diatas adonan sampai semua permukaannya tertutup. Lalu taburi cinnamon bubuk. Panggang pie di oven panas selama... errr.. lupa. kira kira aja. Jangan lupa di jenguk setiap 5 menit, biar nggak kebablasan gosong... hehehe.

Gampang khan? Selamat mencoba ya!

Eh ya, mau sharing fotonya Leonz yang saat makan apple pie. Senang banget. Akhirnya... mommy bisa juga bikin kue :-)


Wednesday, June 8, 2011

casting inc

Leah dan Leonz sungguh anak anak yang beruntung. Memiliki wajah plek seperti mamanya yang ayu gabungan ayah dan ibunya. Mereka diminati agen pencari model. Wajah blasteran tampaknya sedang naik daun di asia.

Saya pensiunan super model *bohong besar sodara sodara!*, tapi saya nggak berambisi supaya Leonz Leah terjun ke dunia tersebut. Bukannya apa apa. Saya tahu anak anak saya.

Sebagai drama queen habis habisan di rumah, Leah paling ogah di foto dan bergaya cantik cantikan di depan kamera. Maunya bergaya konyol. Sempet curiga jangan jangan Leah bercita cita jadi pelawak. Standar gayanya Leah, seperti ini :


Leonz lain lagi. Saking gantengnya sering menipu habis mas-mas agen model. Nggak ada yang nyangka kalau Leonz adalah anak dengan kebutuhan khusus yang saat ini belum verbal (soon ya nak. janji kamu akan bicara!) *sowry... diselingi doa ibu*.

Sebenernya, Leonz seneng banget gaya gaya-an di depan kamera. Cumaannn.. yang ngarahin musti ekstra sabar. Dari 103 kali jepret cuman 2 yang bagus. Sisanya meleng atau nyengir yang nggak semestinya. Dan saya nggak yakin bakal ada yang sesabar itu, mau punya model yang susah diarahin. Ini hasil jepretan yang berhasil :



Karena penasaran dan gagal menolak tawaran mas agen, akhirnya saya mencoba ikutan casting. Di waktu dan tempat yang berbeda.

Untuk Leah. Casting iklan untuk produk susu anak anak. Dan gagal total. Leah mogok bergaya dan bilang begini di depan mas tukang casting , "I don't want to say anything. I don't like this man mommy!"

Untuk Leonz. Casting iklan untuk asuransi. Gagal total. Leonznya sih tampak senang. Tapi saya, mamanya nggak nyaman dengan situasi sekitar. Apalagi mendengar suara mas casting yang menggelegar mengarahkan si anak. Saya yang merasa grogi dan demam panggung. Maka sebelum dapat giliran, kita ngacir pulang .

Jujur saya nggak nyaman sama suasana menunggu dan proses casting.

Kesan pertama saat sampai di sana.... bingung. Banyak banget anak anak bersama orang tuanya. Mirip ruang tunggu dokter anak. Begitu datang, kita harus mengisi daftar nama dan mendapat nomer panggil.

Kesan kedua .... geli. Melihat para orang tua yang berambisi gede. Kebanyakan anak terlihat takut. Masing masing ibu berusaha mengajarkan "kisi kisi" jalannya casting.

Kesan ketiga, kasihan.

Anak anak yang mungkin merasa nggak nyaman tapi terpaksa berada di situ.

Kasihan melihat anak umur 3 tahun yang ukurannya 3 kali lebih besar ke samping dari Leah. Mungkin terlihat bagus untuk iklan susu atau vitamin. Tapi berbahaya untuk kesehatannya. Tambah miris , sang mama terlihat bangga dengan ukuran tubuh anaknya.

Melihat anak perempuan umur 7 tahun. Bertingkah dan berdandan seperti a real lady. Caranya berpakaian, duduk dan tersenyum. Nggak lupa kosmetik yang tebal. Kasihan.

Kesan keempat, sebal. Sebal dengan mas mas tukang casting. Mereka terdengar tidak menyenangkan. Kasar. Parahnya lagi mereka terlalu physical, memanggil anak anak dengan bentuk fisiknya, si gendut, si bule, dll.

Nggak heran Leah merasa makin nggak nyaman. Dan saya kuatir berat dengan Leonz. Boro boro akan sabar mengarahkan. Yang ada saya takut terlontar dari mereka kata kata yang nggak enak terhadap Leonz *yap.. saya ibu yg sensitif apalagi bila menyangkut keadaan anak special need saya*.

Tapi mungkin saya salah. Mungkin anak anak di tempat tersebut melakukannya dengan sukarela. Mengejar impian. Makanya salut untuk mereka yang berhasil jadi bintang. Yang memulai dari bawah. Dan pastinya nggak semua mas mas casting tidak menyenangkan seperti yang saya alami.

Malamnya sebelum tidur. Di hari yang sama dengan casting. Leah minta saya berjanji.

"Please do not bring me to that place anymore, mommy! I don't like that place. The place with the camewa (camera) and terrible man", katanya sambil untel untel rambut saya.

"Iya Eyah,.. mommy janji!"

Dan untuk Leonz, saya juga janji.

Mommy tau kamu suka. Lain kali kita coba lagi ya Nak. Saat kamu sudah lebih baik, lebih siap. Dan sepanjang kita berdua merasa nyaman berada di sana.